Kamis, 24 Februari 2011

Sejarah dan landasan filosofis serta karakteristik Matematika Realistik

Sejarah dan landasan filosofis Matematika Realistik
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali
pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi
pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre
(1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai
sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977)
tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan
dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal
menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran
matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
“dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya.
Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika
sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran
matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi”
(Freudental,1968).
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide
tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu
matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa
diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di
pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya
menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan
strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi
matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol,
sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk
matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya
(Freudenthal, 1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang
berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan
dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini
ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi
tidak selamanya harus melalui cara itu.

Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik.

Pendidikan Matematika Realistik mencerminkan pandangan
matematika tertentu mengenai bagaimana anak belajar matematika dan
bagaimana matematika harus diajarkan.Pandangan ini tercermin pada 6
prinsip, yang diturunkan dari 5 kaidah yang dikemukakan Treffers (1987) yaitu
eksplorasi fenomenologis menggunakan konteks, menjembatani dengan
menggunakan instrumen vertikal, konstruksi dan produksi oleh pebelajar
sendiri, pembelajaran interaktif, dan jalur-jalur belajar yang saling menjalin.
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, maka keenam prinsip yang
merupakan karakteristik pendidikan matematika realistik akan dipaparkan
sebagai berikut.
1) Prinsip kegiatan
Pebelajar harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses
pengembangan seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis
sendiri. Dalam hal ini pebelajar dihadapkan situasi masalah yang
memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut dan
mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan dan
membagi berdasarkan cara kerja nonformal.
2) Prinsip nyata
Matematika realistik harus memungkinkan pebelajar dapat menerapkan
pemahaman matematika dan perkakas matematikanya untuk memecahkan
masalah. Pebelajar harus mempelajari matematika sedemikian hingga
bermanfaat dan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah
sesungguhnya dalam kehidupan.Hanya dalam konteks pemecahan masalah
pebelajar dapat mengembangkan perkakas matematis dan pemahaman
matematis.
3) Prinsip bertahap
Belajar matematika artinya pebelajar harus melalui berbagai tahap
pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang
berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan
langsung dan pembuatan bagan; yang selanjutnya pada perolehan wawasan
tentang prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas
hubungan tersebut. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada
kemampuan yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini
dapat ditunjukkan melalui interaksi.
Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat membimbing pertumbuhan
pemahaman matematika pebelajar dan mengarahkan hubungan longitudinal
dalam kurikulum matematika.
4) Prinsip saling menjalin
Prinsip saling menjalin ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya
antar topik-topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmatika,
perkiraan (estimasi), dan algoritma.
5) Prinsip interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematik dipandang sebagai kegiatan
sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para pebelajar
untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan
apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini, pebelajar
mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula interaksi dapat
menghasilkan refleksi yang memungkinkan pebelajar meraih tahap
pemahaman yang lebih tinggi
6) Prinsip bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting
dalam mengarahkan pebelajar untuk memperoleh pengetahuan. Mereka
mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa
yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui
proses hafalan. Pebelajar memerlukan kesempatan untuk membentuk
wawasan dan perkakas matematisnya sendiri, karena itu pengajar harus
memberikan lingkungan pembelajaran yang mendukung berlangsungnya
proses tersebut. Artinya mereka harus dapat meramalkan bila dan
bagaimana mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan keterampilan
pebelajar untuk mengarahkannya mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam hal ini perbedaan kemampuan pebelajar harus diperhatikan, sehingga
setiap pebelajar mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
pengetahuannya dengan cara yang paling cocok untuk mereka masingmasing.

Conception of the teacher and teaching in Realistic Mathematic Education

Cobb (1994) states that the theory of RME constitutes a highly compatible, domain
specific instructional theory that relies on real world application and modeling.
compatibility between constructivism and RME is due, in large part, to the similarity in the characterization of mathematics and mathematics learning. Both contend that
mathematics is a creative human activity, and that mathematical learning occurs as
students develop effective ways to solve problems (de Lange, 1996; Streefland, 1991;
Treffers, 1987). Using the description by Cobb (1994), de Lange (1996) addresses the
tenets of RME:
1. The starting points of instructional sequences should be experientially real to
students so that they can immediately engage in personally meaningful
mathematical activities.
2. In addition to taking into account the students' current mathematical ways of
knowing, the starting points should also be justifiable in terms of the potential end
points of the learning sequence.
3. Instructional sequences should involve activities in which students create and
elaborate symbolic models of their informal mathematical activity.
4. The first three tenets can only be effective if they are realized in interactive
instruction: explaining and justifying solutions, understanding other students’
solutions, agreeing and disagreeing, questioning alternatives, reflecting.
5. Real phenomena in which mathematical structures and concepts manifest
themselves lead to intertwining of learning strands.
The tenets of RME reflect the role of the teachers in mathematics teaching. Ideally, the teachers develop highly interactive instruction, give opportunities to the students to actively contribute to their own learning process, and actively assist the students in interpreting real problems. De Lange (1991) describes RME teaching as unteaching.
In order to be a successful RME teacher, one has to learn the 'art of unteaching' which is not easy to realize. Unlike traditional interpretation of teaching as an activity carried out mainly by the teacher, in RME the teaching is more complex than just a well organized sequence of introduction – explanation – exercise – conclusion (like PKG teaching model).
In RME the teacher is not supposed to teach anymore. His or her role is emphasized
on being an organizer and a facilitator of the students' reconstruction of mathematical
ideas and concepts. He or she needs to make his or her own personal adaptation.
Gravemeijer (1994) similarly describes that since students are no longer expected to
simply produce correct answers quickly by following prescribed procedures, but have
other obligations such as explaining and justifying solutions, trying to understand the solutions of others, and asking for explanations or justifications if necessary, the role of the teacher is changed. According to Gravemeijer (1994) the authority of the teacher as a validator is exchanged for an authority as a guide. He or she exercises this authority by way of selecting
instructional activities, initiating and guiding discussions, and reformulating selected aspects of students' mathematical contributions.